YOU CAN GET ALL

Thursday 10 March 2011

Malaysia Berbisnis Melawan China sebagai Pesaingnya..

untaianberita

INILAH.COM, Jakarta - Proyek konstruksi raksasa Malaysia diharapkan mengalahkan cengkraman China pada pasar logam strategis yang penting bagi iPhone, Prius (Toyota) ataupun Boeing.
Sekitar 2.500 pekerja bangunan dituntut segera menyelesaikan kilang terbesar di dunia untuk mencari logam tanah terlangka (rare earth metals). Sebelumnya, China menjadi negara pertama dan satu-satunya yang membangun pabrik pengolahan bijih langka ini.
Bagi Malaysia dan perusahaan teknologi tinggi di seluruh dunia, rencana tersebut bagaikan perjudian mengingat seberapa berharga proses tersebut bagi lingkungan jika dibandingkan ‘kekayaan’ global yang dijanjikan, masih belum pasti.
Elemen langka itu menjadi poin penting bagi industri teknologi namun Malaysia tentu belajar dari pengalaman pahit beberapa dekade lalu bahwa pemurnian bijih langka itu menghasilkan ribuan ton limbah radioaktif.
Sayangnya, keberadaan pabrik ini terkesan ‘wajib’ dan ditutut oleh berbagai pihak berkepentingan di seluruh dunia yang khawatir monopoli China. Negara Tirai Bambu itu mencengkram 95% pasokan global dari elemen langka.
Selain itu, beberapa negara yang memiliki deposit elemen langka tidak selalu ingin menjadi tuan rumah dari kilang proses pengolahan materi ini atau membuka lahan baru. Perusahaan Amerika, Molycorp misalnya berencana untuk membuka kembali tambang di Death Valley, California. Mereka menolak mencari ‘ladang lain’.
Malaysia memang tidak bekerja sendiri. Dibantu perusahaan pertambangan raksasa asal Australia, Lynas dengan dana US$230 juta (Rp 2,07 triliun), Malaysia berambisi menghadirkan kilang di pelabuhan industri Kuantan, pinggiran utara Malaysia.
Direktur Eksekutif Lynas, Nicholas Curtis, mengatakan akan membutuhkan biaya empat kali lipat jika mereka membangun dan mengoperasikan kilang di Australia. Negara mereka memang memiliki biaya konstruksi dan tenaga kerja lebih mahal. Australia juga terkesan ‘cuci tangan’ dari masalah lingkungan.
Meskipun berpotensi bahaya, pemerintah Malaysia sangat ingin menarik investasi dari Lynas, bahkan mereka menawarkan tax holiday selama 12 tahun. Jika harga elemen langka itu berada di level saat ini, kilang Malaysia diperkirakan menghasilkan US$1,7 miliar (Rp15,3 triliun) setiap tahun, mulai akhir tahun depan. Ini setara dengan 1% transaksi perekonomian keseluruhan di Malaysia.
Direktur Jenderal Malaysian Atomic Energy Licensing Board, Raja Dato Abdul Azis bin Raja Adnan mengatakan Malaysia menerima tawaran kerja sama Lynas setelah meninjau indikasi impor bijih langka itu dari sudut pandang ekonomi, lingkungan dan tingkat radioaktif yang dinyatakan aman.
“Kami telah belajar untuk tidak memberikan kebebasan kepada siapapun,” ujar Raja Adnan. Malaysia memang punya alasan besar untuk berhati-hati. Terakhir kali pihak asing yang diijinkan menambang elemen langka itu adalah perusahaan Jepang, Mitsubishi Chemical. Kini, situs yang mereka manfaatkan malah menjadi ladang limbah radioaktif terbesar di Asia.
Curtis menegaskan pabrik baru mereka akan jauh lebih bersih dan lebih aman dibandingkan pabrik Mitsubishi. Salah satu poin utama yang mereka unggulkan adalah pabrik itu memproduksi 3% sampai 5% torium untuk setiap ton logam langka itu. Torium merupakan radioaktif yang dikhawatirkan muncul saat penyulingan bijih mineral langka.
Di sisi lain, ahli lingkungan skeptis rencana tersebut tidak membahayakan lingkungan. “Kata rendah yang digunakan pemerintah sebenarnya hanyalah masalah persepsi. Ini adalah karsinogen,” ujar Dr Jayabalan A Thambyappa, ahli racun dan fisikawan, seperti dikutip dari New YorkTimes.
Karsinogen adalah zat yang menyebabkan kanker dengan mengubah asam deoksiribonukleat pada DNA dalam sel-sel tubuh. Akibat selanjutnya adalah mengganggu proses biologis. [mdr]

No comments:

Post a Comment