YOU CAN GET ALL

Thursday 20 January 2011

Presiden dan Tokoh Lintas Agama Berembug

untaianberita

Kamis, 20/01/2011 17:17 WIB
Dialog Kebohongan Presiden(5)
Pdt Andreas Yewangoe: Kami Hanya Ingin Negara Ini Diurus dengan Baik
M. Rizal - detikNews





Jakarta - Kritikan sejumlah tokoh agama yang tergabung dalam Lintas Agama kepada pemerintahan SBY-Boediono, telah membuat merah kuping Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan jajaran kabinetnya. Apalagi kritikan ini terkait persoalan kegagalan dan ketidaksingkronan antara ucapan dan langkah kongkret pemerintah selama ini untuk memperbaiki kondisi bangsa.

Apa yang membuat tokoh agama ini membuat pernyataan keras kepada pemerintah SBY? Apa yang mereka incar? Ketua Umum Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI) Pendeta Andreas Yewangoe membantah kelompok agamawan ingin mendapatkan kedudukan. Pernyataan keras dengan menyebut pemerintah berbohong sudah merupakan tugas agamawan sebagai mitra kritis pemerintah.

"Kritis kami itu kritis yang solider, bukan hanya sekadar solider kepada pemerintah, tapi kepada seluruh bangsa ini, maka mau tidak mau kami harus kritis. Itu posisi kami, bukan karena kami ingin berkuasa, ingin menjadi presiden atau menteri, tidak ada itu dalam hati kami. Sesungguhnya kami ingin negara ini diurus dengan baik, begitu saja," kata Andreas.

Bagaimana awal mula muncul pernyataan kebohongan publik? Bagaimana isi pertemuan dengan presiden SBY? Apakah kalangan agama kini terancam keselamatannya setelah keras terhadap SBY? Berikut bincang-bincang detikcom dengan Pendeta Andreas Yewangoe di Jakarta, Rabu (19/1/2011) malam:


Apa yang sebenarnya mendasari para tokoh agama menilai pemerintahan SBY-Boediono melakukan Kebohongan Publik?

Ini sebenarnya begini. Ini para tokoh agama setiap kali melakukan pertemuan, karena kita ada semacam acara diskusi dan silaturahmi dan ini sebenarnya sangat informal. Pada pertemuan di Tebuireng, Jombang, Jawa Timur tanggal 13 November 2010, saat mau menyambut pemberian gelar Pahlawan kepada Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid). Kita mendapat undangan untuk menyambut pemberian gelar pahlawan itu, karena tidak jadi, ya sudah lah kita terus melakukan diskusi. Seperti yang lainnya, kita mendiskusikan keadaan negara dan bangsa, banyaknya orang miskin dan lain-lainnya.

Lalu ada pemikiran sebagian teman-teman untuk melanjutkan diskusi ini, karena ini hal yang bagus juga. Saya lupa tanggalnya, setelah itu ada pertemuan di Konferensi Waligereja Indonesia (KWI). Lalu diundanglah orang-orang yang ahli, seperti Sri Palupi (Ketua Institute for Ecosoc Rights) dan orang-orang yang memang punya data-data.

Kita lihat data-data itu, ya seriuslah memang kondisi negara ini. Walau memang dalam pihak lain tentu saja kita melihat dan menghargai pemerintah yang menyatakan ekonomi sudah maju. Tetapi ahli bilang, betul ada kemajuan tapi itu memang perekonomian
makro, tapi imbas ke bawah itu kurang. Munculah diskusi mengenai neoliberalisme, orang di mana-mana mendiskusikan hal itu kan bisa.

Muncul pertanyaan, apakah memang kita masih berpegang kepada amanat konstitusi bahwa ekonomi dijalankan berdasarkan azas kekeluargaan, seperti Pasal 33 UUD 1945. Jangan-jangan kita sudah terjebak dalam ekonomi neoliberal, hal-hal seperti itulah yang muncul.

Lalu memang waktu itu ada yang mengusulkan, saya lupa, tapi itu dari orang-orang muda yang mengusulkan bagaimana tokoh agama melakukan jalan kaki semacam demontrasi dari bundaran Hotel Indonesia (HI) ke Monas. Paling tidak untuk memperlihatkan kepada masyarakat bahwa pemimpin agama juga sangat prihatin dengan keadaan negara ini.

Lalu dilanjutkan dengan pertemuan di PP Muhammadiyah pada tanggal 10 Januari 2011 dan sudah ada jadwal tanggal 14 Januari di PGI. Pada tanggal 10 Januari itulah muncul pernyataan itu, yang sebenarnya itu masih dalam draft, yang masih perlu disempurnakan dalam pertemuan lanjutan di PGI. Namun, karena draft ini yang banyak diliput semua media massa, sehingga munculah istilah "Kebohongan Publik", yang dicatat dan dibacakan oleh Badan Pekerja Gerakan Tokoh Lintas Agama, yang terdiri dari orang-orang muda atau aktivis.

Rupanya ini yang beredar ke luar, dan waktu sebenarnya masih ada diskusi di antara kami. Loh, kok ini sudah dibacakan. Lalu dikatakan tunggu dulu, ini perlu didiskusikan terlebih dahulu. Seperti Franz Magnis Suseno, dia tidak terlalu suka dengan kata "Kebohongan Publik", karena ini bukan bahasa kita. Tetapi dan itu ditekankan para tokoh agama bahwa secara substantif kita sepakat, yaitu memang ada hal-hal yang tidak cocok di antara yang dijanjikan dengan yang ada di masyarakat.

Artinya, kata 'kebohongan publik' ini bukan dari para tokoh agama?

Artinya, waktu pertemuan di PP Muhammadiyah itu sudah bercampur dengan badan pekerja dan orang lainnya serta muncul istilah-istilah itu. Tetapi kami tekankan sekali lagi bahwa apa yang menjadi substansi dari apa yang dikatakan itu, kita tidak keberatan, sepakatlah kita.

Soal pertemuan dengan Presiden SBY kemarin itu bagaimana?

Begini, itu setelah ada ramai-ramai di luar itu, katanya Istana sangat teriritasi dengan persoalan ini, kita lihat di televisi dan di mana-mana, bahkan mereka sangat emosional bereaksi. Saat itu, Staf Presiden Daniel Sparingga di antaranya menelepon saya. Dia menanyakan bagaimana duduk persoalan yang sebenarnya, kok bisa ramai dan keluar hal semacam itu. Saya ceritakan apa adanya. Saya bilang kami masih ada diskusi pada tanggal 14 Januari, kalau anda bersedia datanglah supaya transparan. Lalu beliau katakan, oke saya akan tanya Presiden dahulu, apakah saya boleh pergi atau tidak.

Setelah dia diizinkan datang, saya komunikasikan dengan teman-teman yang lain, seperti Pak Syafii Maarif dan tokoh lainnya serta badan pekerja. Hanya saja Pak Syafii Maarif dan lainnya mengatakan, karena ini staf presiden sebaiknya Badan Pekerja saja yang berdiskusi dengan dia (Daniel Sparingga), jangan tokoh agama karena itu porsinya presiden. Memang pertemuan terjadi, dan Badan Pekerja juga ternyata mengundang orang yang disebut para korban. Ada korban Lapindu, korban TKW dan lainnya. Saya hanya membuka saja dan meninggalkan diskusi itu beberapa saat. Diskusi berjalan lancar dengan baik.

Setelah itu, saya dan beberapa yang lainnya mendapatkan SMS (pesan singkat) dari ajudan presiden. Isi SMS cukup panjang yang ditujukan kepada Pak Din Syamsuddin, kami hanya menerima tembusannya (CC). Isinya agak panjang lebar, lalu tertulis Bapak Presiden mengundang tokoh agama tanggal 17 Januari 2011 untuk bertemu di Istana. Tapi saya heran, kok nama Pak Syafii Maarif dan Pak Solahuddin Wahid tidak ada.

Jadi saya menelepon Pak Din, bagaimana ini, kami dapat SMS. Kalau pertemuan itu yang dimaksud sebagai jawaban atas yang terjadi di luar, kok ini sepertinya tidak cocok. Karena, di situ ada kapasitas Pak Din Syamsuddin sebagai Ketua Indonesia Committee and Religion for Peace (IComRP). Jadi seperti tidak klop, karena waktu kami berdiskusi di mana-mana, itu tidak pakai itu.

Tapi tokoh yang tidak ikut dalam Tokoh Lintas Agama, seperti Pak Said Aqil Siradj (Ketua Umum PBNU) kok ikut diundang juga. Saya bilang, sebaiknya Pak Syafii Maarif diundang juga dong oleh Presiden. Pak Din lalu katakan akan mengkomunikasikan hal itu ke Istana. Dan mungkin sebenarnya Pak Syafii dan Pak Solahuddin juga diundang per-sms oleh ajudan presiden itu. Besoknya baru menyusul surat undangan resmi dari Sekretariat Negara, dan surat itu kalau tidak salah ada tiga versi. Katakanlah, versi yang satu mengatakan bertemu di Wisma Negara, yang satu mengatakan bertemu di Istana Negara, satu versi saya lupa. Rupanya semua orang dapat, kecuali Pak Syafii dan Pak Solahuddin.

Karena ada persoalan yang agak aneh itu, makanya kami mengadakan pertemuan di kantor KWI yang dihadiri oleh Pak Solahudin Wahid, Uskup D Situmorang, Biksu Sri Pannyavaro Mahathera dan lainnya. Kita membicarakan, kita pergi atau tidak memenuhi
undangan tersebut. Waktu itu sempat terpikirkan oleh kami, bukan kita tidak mau pergi, karena kita tidak lengkap, bagaimana kepergian ke Istana itu dijadwalkan ulang. Karena Pak Solahuddin tak menerima undangan resmi, kecuali sms saja, kemudian Pak Syafii ada acara di Yogyakarta.

Pak Franz Magnis Suseno mengatakan, kalau kita tak datang memunuhi undangan istana, nanti kita akan dianggap apa oleh istana. Awalnya Pak Din tak mau, Pak Solahuddin tetap tidak mau karena tak menerima undangan resmi, kita semua memutuskan untuk datang dengan membawa semua pembicaraan hasil pertemuan di PP Muhammadiyah itu. Sementara itu, yang disebut Pesan Terbuka Tokoh Lintas Agama, kita reformulasi. Inilah yang dibacakan di Istana Negara, yang sekarang yang berisi tujuh butir seruan itu, itulah reformulasi dari draft yang sempat sudah dibacakan sebelumnya.

Bagimana tanggapan Presiden SBY di Istana Negara atas tujuh butir seruan itu?

Sesampainya di Istana Negara, yang diawali dengan makan malam terlebih dahulu dengan Presiden. Terus terang kami agak kaget, dengan begitu banyak menteri banyak yang hadir dan begitu luas. Sehingga kami berpendapat, kalau begini luas pertemuannya, tidak efektik nantinya. Makanya kami minta kepada Pak Din untuk meminta kepada Presiden supaya percakapan ini bersifat terbuka dan live di media massa, khususnya televisi. Ternyata, Presiden punya pendapat lain, bahkan wartawan pun tidak diizinkan hadir. Ini yang membuat kami kecewa, bahkan Pak Din mengutarakan kekecewaan itu dan berkata agak keras, ini tidak adil, apakah hanya presiden yang hanya boleh diliput langsung, kami tidak.

Tetapi Presiden menjawab, kalau saya tak salah ingat, memang sebaiknya tak begitu, sebab nanti tanggapan di masyarakat bisa beranekaragam. Lalu Presiden memulai pidatonya, mungkin sekitar 7 menitan, yang isinya antara lain senang dengan pertemuan, meminta saling membuka diri dan lain sebagainya. Lalu kami dipersilakan untuk mengungkapkan persoalan yang kita bicarakan di PP MUhammadiyah dan Uskup Situmorang membacakan tujuh butir seruan itu, setelah itu tanya jawab. Kita diberikan kesempatan tanya jawab, itu sampai jam satu malam.

Ada yang katakan pertemuan ini gagal?

Gagal tidak dalam arti, mungkin yang diharapkan itu ada suatu langkah-langkah kongkret. Tapi ini bukan berarti tidak mungkin, karena ini baru menanggapi secara umum segala sesuatu yang disampaikan. Tetapi kami menegaskan bahwa ini bukan hanya sekadar basa-basi, juga bukan sekadar klarifikasi, tapi harus ada langkah kongkret.

Makanya dalam penutupan dirumuskan bahwa ini pertemuan paling awal, diskusi terus terang cukup lugas, kadang bersuara keras, tapi berjalan baik dan akan disusul dengan pertemuan-pertemuan berikutnya dengan diperkuat lagi dengan data-data yang ada. Jadi sebagai pimpinan Lintas Agama tetap menagih janji itu dan besok kami akan mengadakan pertemuan di KWI untuk mengevaluasi pertemuan dengan Presiden SBY itu.

Seruan 'kebohongan publik' Lintas Agama ini menjadi gerakan di bawah, bagaimana kalau nantinya menjadi gerakan yang lebih masif bagi aktivis mahasiswa dan sebagainya?

Kami menegaskan kepada Presiden bahwa kami bukan politisi. Artinya, kami sebagai pemimpin agama dan tidak ada hubungannya dengan isu pemakzulan (impeachmen) atau keputusan Mahkamah Konstitusi dan lain sebagainya. Jadi kami bukan politisi,
kami hanya ingin memberikan masukan dan kritikan saja atas hal-hal yang tidak berjalan dengan semestinya.

Gerakan-gerakan dan seruan-seruan ini sebenarnya tidak akan muncul bila pemerintah menjalankan tugasnya sesuai dengan amanat konstitusi. Bila para elit politik, seperti di DPR dan Partai Politik mau memperjuangkan kepentingan rakyat luas, baik di bidang ekonomi, hukum, budaya dan lain sebagainya, saya kira itu selesai.

Tapi, kalau kondisi bangsa seperti ini, politisi di Partai Politik dan DPR hanya ribut sendiri untuk kepentingan sendiri, jangan salahkan rakyat protes dan kritis, apalagi turun ke jalan untuk demontrasi. Itu juga yang kami tidak mau semua terjadi.

Sebenarnya bagaimana posisi atau peran tokoh agama atau agamawan dengan pemerintah sendiri?

Artinya kami selalu akan bersikap sebagai mitra yang berkewajiban untuk kritis. Kritis kami itu kritis yang solider, justru karena solidaritas ini, bukan hanya sekadar solider kepada pemerintah, tapi kepada seluruh bangsa ini, maka mau tidak mau kami harus kritis. Itu posisi kami, bukan karena kami ingin berkuasa, ingin menjadi presiden atau menteri, tidak ada itu dalam hati kami. Sesungguhnya kami ingin negara ini diurus dengan baik, begitu saja.

Karena sudah membuat marah pemerintah, apakah para tokoh agama sudah mulai merasa terancam?

Memang ditemukan adanya spanduk yang ditemukan Pak Din Syamsuddin yang menyatakan ketidaksukaannya. Tapi saya pribadi belum merasa seperti itu. Tetapi memang Pak Din sudah kemukakan itu kepada Presiden bahwa ada suatu GADIS, Gerakan Anti Din Syamsuddin dan kemudian apalah itu. Namun sampai tahap sekarang, secara pribadi belum merasa belum ada seperti itu. Karena kami yakin apa yang kami lakukan itu tidak ada pretensi apapun, kecuali untuk mengingatkan.

Ada tudingan kalau tokoh lintas agama mengkritisi pemerintah justru ditunggangi oleh kepentingan politik, bagaimana?

Kami tidak merasakan hal itu dan kami juga tidak mau. Artinya kami akan selalu waspada dan sadar bahwa itu tidak boleh terjadi. Tapi barangkali ada yang memanfaatkan, ya itu di luar kendali kami. Mungkin itu ada yang merasa terinspirasi dengan apa yang kami lakukan atau bagaimana, tapi itu bukan kami. Kami tetap pada tugas sebagai tokoh agama saja. (zal/iy)

No comments:

Post a Comment